Selasa, 28 Juni 2011


BAB I

PENDAHULUAN



A.     Latar Belakang

Trematoda adalah yaitu trematoda diagenetik yang terpenting pada manusia, terdiri atas tiga spesies yang penting yaitu : sehistosoma hematodium (hidup di vena vesica uriraria), sehistosoma mansoni dan sehistosoma japanicum terdapat di vena usus)
Secara marfologi, schistosoma  tsb beda dengan trematoda yang khas.  Karena bentuknya yang kecil memanjang dan jenis kelamin yang terpisah. Lingkaran hidup pada cacing dewasa yang halus, besarnya 0,6 sampai 2,5 cm. hidup berpasangan , yang betina di dalam canalis gynaecophorus cacing jantan. Tergantung dari pada species cacing, antara 300 (S.mansoni) sampai 3500 (S.japanicum) telur sehari dikeluarkan ke dalam vena. Oleh karena itu bahwa telur tersebut akan berkembang biak dengan cepat dan tentunya akan mengganggu dari pada vena tersebut.

B.     Tujuan

      Tujuan dari pembuatan makalah ini, untuk memenuhi tugas Mikrobiologi dan Parasitologi. Dan menambah ilmu pengetahuan tentang Mikrobiologi dan Parasitologi yang nantinya akan berguna bagi mahasiswa. Dan juga sebagai bahan tambahan bagi pembaca Mikrobiologi baik mahasiswa maupun pembaca di luar.

C.     Batasan Masalah

      Kelompok kami membatasi masalah hanya pada penyebaran, patologi dan simtomalogi, diagnosis, pencegahan, dan pengobatan.




BAB II
ISI


  1. PENYEBARAN SCHISTOSOMA JAPONICUM DAN HOSPES
Terbatas di timur jauh. Penyakit ini sangat erdemik di lembah sungai yangtze di tiongkok tengah jarang di temukan di pantai timur sebelah selatan hongkong. Tedapat 5 daerah endemi (penyebaran) dilembah-lembah sungai di pantai jepang ; banyak ditemukan fokus dipulau-pulau mindanao, mindoro, luzon, samar dan leyte di Fhilipina. Sarang kecil di sulawesi, thailand ; dan fokus yang berasal dari binatang di taiwan. Oncomelania yang hidup disaluran air, selokan dan rawa merupakan hospes perantaranya.
Sejumlah besar hospes reservoar termasuk tikus, mencit, kucing, anjing, kiuda, sapi, kerbau, dan babi.

B.     PATOLOGI DAN SIMTOMATOLOGI

Masa tunas mulai dengan waktu cercaria menembus kulit, yang dapat menimbulkan pruritus dan alat lain oleh cacing yang belum dewasa, timbullah perdarahan berupa petechia dan sarang dan sarang infiltrasi sel eosinofil dan leukosit. Reaksi foksik dan alergi dapat menyebabkan urtikaric, edema subkoten, serangan astma, leukositosis dan eosinofili. Pada waktu berakhirnya masa tunas, hati menjadi nyeri dan besar. Dan terdapat pula rasa perut tidak enak, demam, berkeringat, menggigil, dan kadang-kadang diare.
Cacing mudah kemudian bermigrasi menentang aliran darah. Schistosoma japonicom ke vena mesenterica superoir dan cabang-cabangnya. Dengan dimulainya perletakan telur, stadium akut mulai. Pada lingkungan hidup normal, telur mencari jalan melewati dinding usus dan masuk ke dalam tinja. Bilamana terdapat telur disertai darah dan sel jaringan nekrosiar. Banyak telur terbawa kembali, masuk dalam aliran darah ke hati.
Telur schistosoma japonicum diletakkan di kelenjar limfe mesenterium dan dinding usus, dan didapat tesi (kerukan). Telur yang menyerbu usus dengan proliterasi jaringan ikat yang luas, pembentukan papiloma dan thombosis pembuluh darah kecil.
Telur ditemukan dalam appedix dalam jumlah 75 % dari pada infeksi usus, kadang-kadang disertai dengan infeksi bakteri sekunder, tetapi telur ini jarang menimbulkan sindroma appendicitis.
Telur yang menjadi emboli terutama menyebabkan prodiferasi piogresit dan fibroblastik, fibrosis periduksus, dan cirrhosis interstisial dengan hipertensi portal yang semakin tinggi.
Zat toksin dari cacing dewasa, pigmentasi dan hipoproteinemia karena salah gizi mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan lesihepar. Fibrosis hati menuju ke cirrhosis, adalah biasa pada schistosoma japonicum.
Infeksi otak yang jarang sekali terjadi, terutama disebabkan schisiosoma japonicum, ditimbulkan oleh telur yang menjadi emboli yang bereaksi secara mekanis, sebagai zat protein asing dan sebagai bahan toksik dan menimbulkan reaksi yang hebat dengan edema, infiltrasi sel pada sumsum berat, sel-sel raksasa, perubahan pada vena, dan degenerasi jaringan sekitarnya.
Sakit didaerah perut, hepatitis, anoreksi demam, myalgia disentri, dan berat badan menurun adalah gejala-gejala khas untuk schistosomiosis infestinalis. Stadium akut berlangsung 3 sampai 4 bulan. Dan lebih hebat infeksi berat dan pada infeksi dengan schistosoma japonicum, karena telur yang dihasilkan species ini lebih besar.
Telur yang masuk kedalam aliran sitemik dan disaring  didalam otak atau sumsum tulang menimbulkan bermacam-macam kelainan saraf. Gejala yang timbul ditemukan adalah sakit kepala, disorientasi, coma, afasia, amnesia, kekacauan, paraplegia, keadaan spastis dan epilepsi jackson. Telur yang terbuka keparu-paru menyebabkan arteriolitis dan fibrosis dan akhirnya menghasilkan payah vetrikel kanal atau cor pulmonale.
Stadium menahun dapat berjalan bertahun-tahun, dan penderita akan meninggal karena pneumoni atau infeksi lain, atau varices dioesophagis.

C.     DIAGNOSIS

    1. telur dapat ditemukan dalam tinja atau urin sampai cacing timbul menjadi dewasa (memakan waktu 5 sampai 13 minggu setelah infeksi)
    2. pada infeksi yang sangat ringan atau kronik telur mungkin sangat sulit ditemukan dalam tinja atau urin. Biopsi dan/atau serologi mungkin berguna pada pasien ini.
    3. kadang-kadang telur schistosoma japonicum dapat ditemukan dalam urin.
    4. pasien yang telah diobati harus diikuti terus melalui pemeriksaan telur dan parasit sampai 1 tahun untuk mengevaluasi pengobatannya.
    5. pada infeksi aktif, telurnya harus mengandung mirasida hidup atau manep.

D.    PENCEGAHAN

    1. Mengurangi sumber infeksi.
    2. mengurangi air yang berisi keong terhadap kontaminasi dengan urine atau tinja yang terkena infeksi.
    3. mengawasi keong sebagai hospes.
    4. melindungi orang terhadap air yang mengandung cercaria.







E.   PENGOBATAN

1.      obat bersifat toksik terhadap hosper yang dapat menurunkan produksi telur, tetapi obat.
2.   digunakan prazikuantel, suatu pirnzinokuinolin, yang merupakan obat pilihan utama untuk mengobati infeksi skistosoma.
3.   metriforat, suatu penghambat organofosfor kolinesterae.


























BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Bahan schistosoma japonicum dapat diduga pada stadium perkembangan dengan timbulnya erupsi kulit berupa ptechia, gejala-gejala toksik dan alergi, dan kelainan hepar dan paru-paru.

  1. Saran
Bagi  para penderita sebaiknya cepat melakukan suatu kolaborasi dengan tim medis. Agar pengobatannya dapat terlaksana dengan hasil yang baik.
Dan bagi masyarakat sekitar hendaklah menjauhi tempat-tempat yang dapat menyalurkan suatu atau telur dari pada schistosoma seperti yang telah dipaparkan di Bab Isi.

















DAFTAR PUSTAKA

  1. Brown W. Haroid, dasar Parasitologi klinis, P.T Gramedia, Jakarta 1997.







0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 ASKEP KOE. Design by WPThemes Expert

Themes By Buy My Themes and Direct Line Insurance.